Pages

Thursday, August 4, 2011

Internet Cepat di Indonesia Masih Jauh?

Kedua teknologi 4G jauh lebih efisien dibanding teknologi terdahulu misalnya 2G dan 3G.
internet
VIVAnews - Teknologi telekomunikasi global sudah mulai beralih ke generasi keempat, fourth generation atau yang umum disebut 4G. Ada dua kandidat utama untuk standar teknologi di 4G yakni WiMax (Worldwide Interoperability for Microwave Access) dan LTE (Long Term Evolution).

Secara teoritis, jika menggunakan kanal selebar 20MHz, LTE mampu mentransmisikan data hingga kecepatan 100Mbps downlink dan 50Mbps uplink. Layanan LTE komersil pertamakali digelar di Stockholm, Swedia (menggunakan jaringan Ericsson) dan di Oslo, Norwegia (jaringan Huawei) pada 14 Desember 2009.

Dari uji coba jaringan 4G LTE milik Huawei yang VIVAnews saksikan di Shanghai, China, pengguna bisa mendownload dengan kecepatan 43Mbps meski uji coba dilakukan dalam Shanghai Maglev Train, kereta api magnet super cepat yang bergerak pada kecepatan hingga 431 kilometer per jam.

Jika menggunakan kanal sebesar 20MHz, WiMax malah mampu mentransmisikan data hingga 128Mbps untuk downlink dan 56Mbps untuk uplink. Adapun layanan mobile WiMax komersial pertamakali digelar di Seoul, Korea Selatan pada 30 Juni 2006.



Kedua teknologi telekomunikasi di atas jauh lebih efisien dibandingkan dengan teknologi terdahulu misalnya 2G yang maksimal hanya mampu menyediakan trafik data maksimal 236,8kbps atau 3G yang maksimal di 56Mbps (untuk HSPA+) dan 14,7Mbps (untuk EVDO Rev.B).

Lalu, mengapa layanan telekomunikasi pita lebar tersebut belum juga diimplementasikan secara penuh di Indonesia?

Seperti diketahui, di Indonesia, seperti halnya di Thailand dan Vietnam, WiMax digelar di frekuensi 2,3GHz. Umumnya, di Amerika Serikat dan negara lain WiMax digelar di 2,5GHz. Akibatnya, banyak perangkat yang sudah mendukung WiMax, misalnya adapter yang sudah dipasang Intel di notebook atau perangkat komputer lainnya, tidak mendukung WiMax di Indonesia atau di negara lain yang menggelar WiMax di 2,3GHz.

Hambatan berikut, seperti VIVAnews kabarkan sebelumnya, teknologi WiMax yang digelar adalah WiMax dengan standar 802.16d, yang sudah tidak lagi digunakan di dunia internasional.

Pemerintah beralasan, penerapan WiMax berbasis 802.16d di Indonesia adalah karena perusahaan lokal baru siap memproduksi perangkat berbasis teknologi obsolete itu meski beberapa pemenang tender siap untuk mengimplementasi WiMax berbasis 802.16e. Menurut pemerintah, jika teknologi 802.16d yang digelar, maka produsen lokal yang diminta untuk menggunakan komponen dalam negeri minimal 35 persen dalam produknya akan terbantu dalam memasarkan perangkat customer premise equipment (CPE) yang mereka produksi itu.

Serupa dengan WiMax, kendala dari sisi regulasi juga dihadapi oleh penggelaran teknologi 4G LTE di Indonesia. Menurut Pratignyo Arif Budiman, GM Strategic Technology Planning Telkomsel, untuk di kawasan perkotaan, LTE optimal jika digelar di frekuensi 2,6GHz, adapun untuk di kawasan pedesaan yang kepadatannya lebih rendah, LTE dapat digelar di 800Mhz. Ini sudah diterapkan di Jerman, Swedia, atau negara-negara lainnya.

Yang jadi masalah, di Indonesia, pemerintah terlanjur memberikan jatah frekuensi 2,6GHz tersebut pada MNC Skyvision (Indovision), perusahaan  televisi berbayar dengan alokasi spektrum sebesar 150MHz dan belum digunakan sepenuhnya.

Padahal, seperti disebut di atas, jika operator penggelar LTE mendapatkan kesempatan menggelar layanan di frekuensi itu dengan alokasi 20MHz saja, mereka bisa menggelar layanan internet atau data pada pengguna hingga kecepatan 100Mbps/50Mbps (download/upload).

Di sisi lain, pita frekuensi rendah yang juga bisa digunakan untuk LTE yakni 800MHz juga sudah stasiun televisi analog yang ada saat ini. Dalam keterangannya, Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi berjanji akan membersihkan frekuensi untuk TV analog paling lambat di 2017 mendatang.

Dengan masih belum beresnya urusan spektrum dan frekuensi, tampak bahwa internet berkecepatan tinggi masih belum akan hadir di Indonesia dalam waktu dekat.

Ini sangat disayangkan. Pasalnya, menurut Herfini Haryono, Director of Planning and Development yang juga CIO Telkomsel, dari total 38 ribu base transceiver station (BTS) yang dimiliki Telkomsel di seluruh Indonesia, sebanyak 8 ribu di antaranya merupakan BTS 3G. Separuh dari BTS 3G tersebut, khususnya yang berada di Jawa dan Sumatera, sudah siap untuk diupgrade ke LTE dalam tempo yang relatif singkat, yakni kurang lebih satu bulan saja.